Rabu, 29 April 2009

Saya gak bersetuju dengan UAN. Kalo pendapat Anda wahai para aktivis..dan pengamat pendidikan??

Saya gak bersetuju dengan UAN. Kalo pendapat Anda wahai para aktivis..dan pengamat pendidikan??

Saya tak habis pikir apa alasan di balik ujian akhir berstandar nasional itu. Karena, saya pikir, ujian semacam UAN yang diadakan di seluruh nusantara tidak selalu adil dalam dalam menilai proses belajar siswa.
Pada akhirnya siswa siswa belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai di atas batas nilai kelulusan. Tapi apa gunanya kerja keras mati-matian jika alat ujinya tidak valid dan reliable.

Begini contoh simpelnya. Ini contoh saya dapatkan dari sebuah tulisan. Dan saya bersepakat dengan itu.

pelajaran Bahasa Indonesia mencakup ketrampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Jadi selama di Sekolah Dasar, anak-anak belajar berkomunikasi dengan empat cara itu. UASBN hanya menguji aspek membaca dan menulis saja. Dengan asumsi empat aspek itu sama pentingnya dan diajarkan dengan pembagian waktu yang merata, maka UASBN hanya menguji 50 % dari isi kurikulum nasional pelajaran Bahasa Indonesia.

Soal-soal UASBN adalah soal berbentuk pilihan ganda. Semua soal pilihan ganda. Bagaimana menilai ketrampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah pertanyaan pilihan ganda tentang penggunaan awalan ber-, misalnya, merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis? Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Apakah memilih mana pembuka surat yang paling sopan bercerita tentang kemampuan anak menulis surat?

menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.

Berarti, sebenarnya UASBN hanya menilai aspek membaca saja. Lho, berarti tidak hanya 50 % tetapi 25 % dong.
Dan yang 25 % ini dijadikan harga mati untuk megukur dan menilai kecerdasan seorang siswa. Mbbah!!! Macam mana pula itu!!!

__________________
Senen depan adik saya ujian.
Mohon do’a dari semuanya biar ia lulus.

UASBN : Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional

Sabtu, 18 April 2009

ini (sebagian) pendapat saya. pendapat anda wahai laki dan perempuan? saya tunggu yah...

Seperti tempat di mana dan bagaimana kita hidup, pasti selalu akan ada pertanyaan-pertanyaan : Buat apa sih nikah? nikah itu perlu gak sih?? dan kalaupun perlu, sepenting apakah kebutuhan itu? Kalau cuma untuk hidup bersama apakah cuma lewat pernikahan? Selain pernikahan? Kenapa harus dilegalkan seperti itu?

Menarik?? menarik!!
tentu saja, masing-masing kita boleh menjawab secara afirmatif, negatif, atau malah bisa juga dengan tidak bertanya sama sekali. Bahkan jawaban di antara keduanya akan ada jawaban yang bermacam-macam dengan varian dan levelnya masing-masing.

Ada kok orang yang hidup bersama-sama dengan baik dan harmonis tanpa pernikahan, kata teman saya. Saya ingin menjawab: Lho, baik menurut siapa? Baik dan harmonis yang bagaimana? (karena saya katakan tadi “ingin” berarti jawaban tersebut tidak pernah keluar dari mulut saya).

Kalau menurut saya?? Simpel nya begini ajah..
Pernikahan digunakan untuk melanggengkan satu hubungan antara dua manusia. Janji untuk saling menemani dan nggak serong ke kiri dan ke kanan. Ga lirik-lirik ke yang lain lagi. Pernikahan sebagai tempat mengukuhkan (cinta). Dan (semoga) pernikahan pula yang akan memeliharanya?
Karena saya pikir manusia lahir dengan satu sistem etika yang terhubung di kepala atau (lebih bagus) di sanubarinya. yang pasti dalam sisstem etika tersebut telah terekam bahwa ia gak mau dikhianati.

Selingkuh (katanya...sih) itu indah.. tapi di selingkuhi...
emmhhh... kalau kata teman saya kayak dibunuh tujuh kali berturut turut.

Menikah untuk mengikat janji??
Saya pikir bukan alesan yang jelek-jelek amat.

Gimana?
Sudah cocokkah jawabannya dengan jawaban anda??




==========
Busyet dah!!
Mbang...mbang malam minggu ginih kok malah ngomongin pernikahan sama ngutak ngatik skripsian.
Gak mutu tenan...!!

Kamis, 19 Februari 2009

Obrol mengobrol lagi, yuk!

saya senang dengan banyaknya komunikasi yang terjalin di milis demokratis ini. Dan saya, sebagai salah satu member, jadi bertambah senang dengan begitu banyaknya pertukaran informasi dan wacana yang beredar di forum ini, apalagi ketika ikut terseret dalam polemik wacana didalamnya.

Tapi kemudian saya melihat sesuatu yang aneh dengan tulis-menulis di forum demokrasi ini.

pertama,
Mereka, yang berdialog, yang sebenarnya tidak terbentang jarak geografis yang jauh, yang topik pembicaraannya terlampau sederhana, berkaitan dengan organisasi misalnya, jadi terlihat tidak atau kurang bicara langsung sesama partnernya dalam satu kepengurusan.

saya pikir, mungkin ini gejala yang diramalkan oleh Marshall McLuhan tentang Gutenberg Galaxy. Ekses dari revolusi gutenberg, revolusi mesin cetak, dimana kata Mc luhan, sesama anggota keluarga akan disibukkan dengan tulis menulis. Hingga mereka tidak mau mengobrol lagi.

Wah.....kalau begini kenyataannya, harus benar-benar diakhiri. Bukan forum milisnya, Tapi berkaitan dengan topik sahaja tentunya.

Dan terpenting dari itu sepertinya obrol-mengobrol harus dikembalikan. Makna kata-kata secara verbal mesti dikukuhkan kembali dalam organisasi. Terutama keluarga kepengurusan, yang secara geografis tidak ada hambatan untuk bertemu. saya tak bisa membayangkan kelanjutan dari sebuah keluarga yang terdiri dari anggota yang berkomunikasi tulis menulis dengan sadisnya!

Minta (informasi, keterangan, dll) dan protes yang rutin saja kok mesti tertulis...
dimilis lagi. minta dang ngomel langsung emang kenapa?? Kalau disampaikan lewat jalur yang benar emang kenapa?


Salam,
Bambang trismawan

Jumat, 02 Januari 2009

Musik

Dulu sekali, saat HP masih langka, MP3 masih jarang, Internet belum ngetren,
Saat akses dengerin musik hanya bisa dinikmati lewat DELTA, Nuansa Musik (ini nama acara musik di RCTI kalo ga salah), MTV Asia (itupun bagi yang punya parabola, waktu itu kan belum ada MTV Indonsia), Radio, dan lewat kaset, mempunyai kaset adalah sebuah kebanggaan tersendiri.

Waktu itu memang saat-saatnya kejayaan kaset, tape dan walkman. Kaset adalah teknologi tercanggih untuk menggantikan piringan hitam yang sebesar wajan, begitu seingatku.

Beda banget dengan sekarang. Sekarang sudah begitu banyak dan mudah akses yang disajikan untuk mengakses musik. Lewat televisi, radio, HP, MP3, Internet, konser, dan lewat semua kanal yang mungkin dan yang akan segera mungkin. Semuanya hampir tersedia dan murah (hampir gratis) dengan kapasitas hampir tak terbatas.

***
Seingatku, dulu, saya tak mempunyai banyak koleksi album kaset. Gak lebih dari sepuluh buah. Terakhir membeli kaset adalah kaset Break The Circle-nya Stand kelas dua atau tiga STM : Itupun setelah memangkas uang jajan selama sebulan penuh. Koleksi album kaset lain yang sempat mampir (Sempat mampir karena memang sekarang ga jelas keberadaannya) ke rak kamarku adalah -sesuatu yang indah nya Padi, –parachutes-Cold Play, -mad season- Matchbox 20, –metheora- Linkin Park, dan best of the best –nya Green Day, hanya itu. Tak lebih.

Dulu, entah kenapa, saya memang lebih senang dengerin radio. Mungkin karena (selain murah, juga) kekuatannya dalam mempertahankan kesegaran sebuah musik sangat kuat. Denger musik di radio ga pernah bikin bosen. Radio selalu piawai dalam memberi keterkejutan saat menyajikan musik. Meski sering kali nggak dipahami oleh radio-radio, dan acara-acara musik yang menjamur saat ini, Tiap kali ada lagu yang jadi hits, langsung aja semua radio, semua acara, memutar lagu yang itu lagi itu lagi. Mereka nggak tahu bahwa mereka sebenarnya sedang mematikan lagu tersebut.

Musik.
Sepertinya hidup takkan pernah lengkap tanpanya. Kalau hidup itu bak film, maka ia menuntut lagu tema. Lagu untuk tiap adegan dan latar. Lagu untuk tiap peristiwa dan emosi. Lagu untuk pembuka dan penutup.
Musik, padanya menikmati, dan terkadang mengikat satu kenangan tertentu pada satu lagu spesifik. Atau sebaliknya ... mengkaitkan satu lagu spesifik pada satu kenangan tertentu? Musik yang tiap kali diputar akan selalu menyalakan kenangan-kenangan.

Ah, entahlah.
untuk seseorang yang piawai
dari yang buta musik.