Selasa, 25 November 2008

Iklan Soeharto



Bangsa ini secara historis pendek ingatan dan mudah lupa. Dan kutukan
bagi seorang yang lupa adalah mengulang kesalahan yang sama
berulang-ulang. Berkali-kali.
"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan
melawan lupa". Begitu kata Milan Kundera dalam novelnya The Book of
Laugther and Forgeting
tentang penegasan akan adanya watak kekuasan
yang korup, atau potensi korup. Tiran, atau berpotensi tiran. Atau
ketika harus menjelaskan perjuangan yang lama harus dilanjutkan
sebelum semuanya terlupakan.

Maka, saya tak heran ketika sosok Soeharto hadir dalam sebuah iklan PKS
bertema seorang pahlawan dan guru bangsa (yang secara sengaja ataupun
tidak sengaja telah memasukkan Pak Harto dalam kategori tema tersebut)
terbaca dengan cepat oleh kita opsi sebagian orang untuk pasang badan,
bahkan menolaknya.

Masalah ini tentusaja tidak hanya bertumpu pada pengusungan wacana Soeharto
menjadi pahlawan bangsa semata. Wacana untuk memberikan gelar
kepahlawanan pada Soeharto toh sudah lama beredar jauh sebelum iklan
tersebut muncul. Tapi logika media telah bermain : berita bagus bukan pada `isi berita' tapi pada `siapa' yang diberitakan. (Di satu sisi PKS ternyata di-akui
ke-selebritas-an-nya).

Kalau pengeluaran wacana Soeharto menjadi pahlawan oleh partai golkar
atau PkPB, orang mah ga ambil pusing.. karena orang melihat golkar dan
Soeharto sama saja. Tapi ini keluar dari sebuah partai reformis.
Partai yang merupakan kanal politik (sebagian) pemuda intelektual
pejuang reformasi. Sebuah partai dengan modal bersih dan peduli yang
besar. Maka masalahpun muncul semakin besar atau sengaja
dipermasalahkan untuk menjadi semakin besar.

Yang kedua, masalah tersebut datang dari orang-orang korban dari sebuah
narasi "Pembangunan dan Keselarasan" ala pak Harto. baik korban secara langsung maupun tidak. Dengan adanya iklan tersebut banyak luka yang hampir kering terbuka kembali. Atau bahkan luka lama terkorek kembali menjadi semakin dalam.
Dalam sebuah dialog terbaca juga sebuah nada untuk tidak menghadirkan
Soeharto sebelum status peradilan (perdata) nya tuntas... "sudah lah
jangan ungkit-ungkit lagi..."

Polos dan sederhana. Terlalu sederhana? Rasa sakit sebagai korban
ketidakadilan dan brutalitas rezim Soeharto saya pikir cukup untuk
mengerdilkan benak bijak manapun juga tentang rasa menghargai bahwa
Soeharto juga adalah bagian sejarah Indonesia. Itu yang kita lihat di
Indonesia setelah Soeharto turun dari kepresidenan.
Dan saya nggak akan heran jika rasa sakit tersebut memotivasi juga
untuk mengambil posisi menolak pada pemberian gelar pahlawan dan guru
bangsa pada Soeharto.

*****
Sungguh karena kita tak pernah tahu mana yang lebih banyak,
Kebaikaannya atau kejahatannya dari sosok Soeharto. Dan jika kita
mendengar banyak mulut bersuara tetang kesejahteraan yang diperoleh
dari pak harto, mungkin itu karena kita tak pernah mendengar lantunan
do'a hati orang-orang yang tertindas dan terdzaliminya.


_________________________________________________
Dan jika ada wacana yang mendikte bahwa melihat "mozaik sejarah" serta teori sintesa dari ORLA dan ORBA, harus dengan cara memasukkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa serta pengampunan kroninya dari pengadilan, saya pikir ada yang salah
dengan keseluruhan logika dan asumsi wacana ini.

Diabaikannya sebuah peradilan hanyalah wajah luar
dari suatu mentalitas yang lebih dalam : diabaikannya sejarah.


Semoga peradilannya bisa dilanjutkan.
ah,...tapi siapa juga yang berani??

Salam,
Bambang Trismawan

0 komentar :